Kementerian Pertahanan Cina pada Jumat mengumumkan keberadaan zona
identifikasi pertahanan udara yang mencakup Kepulauan Senkaku, Jepang.
Langkah itu meningkatkan risiko pertikaian bersenjata seperti halnya
yang menimpa pesawat tempur Cina dan pesawat pengawas Amerika Serikat,
EP-3 pada 2001. Peristiwa semacam itu akan menyulitkan konflik yang
melibatkan Amerika Serikat (AS) mengingat Amerika terikat perjanjian
untuk membantu Jepang mempertahankan kepulauan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, dan Menteri Pertahanan AS, Chuck
Hagel mengecam tindakan tersebut sebagai upaya mengubah status kepulauan
dengan jalan kekerasan. Kerry pun menyinggung mengenai ancaman terhadap
kebebasan melakukan navigasi.
AS, Jepang, dan negara lain juga menerapkan zona identifikasi
pertahanan udara yang mewajibkan semua pesawat dalam wilayah tersebut
untuk mengungkap identitasnya. Namun, dalam kasus ini, ada perbedaan
mendasar. Cina mengharuskan semua pesawat dalam zona itu untuk mengikuti
instruksi meski hanya melintasi wilayah udaranya.
Hal demikian pun terjadi pada 2001, serta tindakan Cina mempermalukan
kapal AS di perairan internasional. Beijing tengah berupaya menciptakan
zona ekonomi eksklusif menjadi daerah terlarang bagi kapal militer dan
pesawat asing. Ini adalah pelanggaran serius atas hukum internasional.
Pengumuman yang disampaikan Cina itu kemungkinan diupayakan sebagai
tekanan terhadap Tokyo untuk membicarakan kedaulatan Senkaku. Pada
September, Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi mengatakan bahwa Cina
terbuka untuk berunding jika Jepang mengakui adanya sengketa. Jepang
menempatkan diri sebagai negara yang memegang kepemilikan mutlak atas
Senkaku. Jadi, hal yang dapat dibicarakan adalah aksi provokatif Cina.
Beijing adalah jagoan urusan taktik pasif-agresif yang secara
bertahap mendorong lawan untuk hanya memiliki dua pilihan: menyerah,
atau melawan. Namun, kini pemerintah Cina mungkin sudah berlaku
keterlaluan. Zona baru itu memaksa AS dan Jepang untuk membuat
perhitungan.
Setelah Tokyo menetapkan bahwa zona pertahanan udara yang baru itu
sebagai hal yang “sepenuhnya tidak dapat diterima,” koran Global Times
menyebut reaksi itu “munafik dan arogan.” Beijing boleh saja mengakali
kecaman atas ratusan pelanggaran batas wilayah dekat Senkaku. Namun,
menciptakan sendiri zona itu secara moril tidak setimpal.
Dengan berusaha memanfaatkan kekuatan untuk mengendalikan lingkungan
Senkaku, Beijing kian dekat ke arah agresi terbuka. Jika tujuannya
adalah berunding dengan Tokyo mengenai status kepulauan dan perjanjian
damai, langkah itu akan menjauhkannya dari kemungkinan-kemungkinan
tersebut.
No comments:
Post a Comment