JAKARTA, (PRLM).- Australia melakukan aksi
penyadapan terhadap Indonesia, lantaran sangat cemas saat Indonesia
bernegosiasi dengan Rusia terkait rencana memperkuat pertahanan laut
lewat kapal selam canggih.
"Penyadapan yang dilakukan Australia itu sekitar 2009, di mana saat
itu Indonesia sedang berkomunikasi dengan Rusia guna membeli dua kapal
selam kelas Kilo,” kata pengamat politik LIPI,
Jaleswari Pramodhawardani
dalam diskusi “Menakar Hubungan Indonesia-Australia Pasca Penyadapan”
di DPD RI, Rabu (27/11/2013).
Melihat rencana pembelian kapal selam itu, lanjut Dani, maka buku
putih Australia soal pertahanan militernya langsung di robek-robek.
“Pembelian kapal selam itu, jelas menjadi security dilema,” ucapnya.
Menurut Dani, setiap negara yang memperkuat pertahanan militernya
bisa dipastikan akan mengganggu negara tetangganya, termasuk yang
ditunjukkan Australia. “Begitupun saat Indonesia membeli tank Leopard,
pastilah baik Singapura maupun Malaysia juga akan bereaksi,” tambahnya.
Namun demikian perlu ada kalkulasi lebih jauh, kata Dani, apakah
perlu memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia. “Apakah kita
sudah bisa hidup tanpa Australia,” ucapnya sambil menekankan bagaimana
juga Indonesia hidup dalam arus global yang tak bisa terelakkan.
Sementara itu, anggota DPD RI, Poppy Dharsono mengungkapkan
penyadapan bukan hanya untuk mengetahui strategi pertahanan militer.
Namun juga berlaku untuk pertahanan ekonomi.
“Saya kira 97 persen Sumber Daya Alam negara kita sudah dikuasai asing, artinya kita ini sudah dijajah sebetulnya,” terangnya.
Poppy tak membantah aksi penyadapan Australia ini, karena lawan
menguasai teknologi canggih. “Isi sadapan, pasti yang terbuka di
permukaan saja. Saya yakin AS dan Australia sangat berkepentingan dan
mereka lebih pintar dalam penguasaan teknologi,” ucapnya.
Begitu pula dengan budaya, kata Poppy lagi, masyarakat Indonesia
justru lebih bangga negara budaya impor. “Kita sekarang lebih
mengapresiasi budaya dari luar. Ini kan sama saja, dari sisi ekonomi dan
budaya sudah dijajah. Makanya kita butuh pemimpin yang kuat. Namun Ini
bukan pekerjaan yang mudah,” tuturnya.
Bangsa Indonesia ini, lanjut mantan Wakil Ketua Kadin itu, lebih
membanggakan barang luar negeri ketimbang barang lokal. Sikap inilah
yang membuat ketergantungan teknologi. “Kalau kita kerjanya beli, dan
impor kita tidak akan menjadi bangsa yang mandiri di atas tanah kita
sendiri,” paparnya.
Sekarang ini, sambungnya, barang impor sudah menguasai pasar
Indonesia. “Kita ini dalam keadaan yang kronis sekali. Di mana kita
sudah tidak bisa lagi mandiri dari ekonomi, budaya,” imbuhnya.
Lihat saja, Poppy mencontohkan teknologi telekomunikasi nasional
sudah dikelola negara asing. “Indosat, Telkomsel, dan sekarang akan
menuju Airport, yang akan diincar asing. Kita hampir kehilangan
semuanya, ekonomi kita dikuasai asing, budaya kita dijajah asing.
Indonesia jadi bangsa yang kehilangan identitas,” pungkasnya.
Sementara anggota Komisi I DPR RI yang membidangimasalah Luar Negeri
Kominfo, Tantowi Yahya menilai Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY)
tidak aspiratif terhadap suara rakyat, jika tidak membuka isi surat
balasan dari PM Australia, Tony Abbott, yang diterima pada Sabtu
(23/11/2013) lalu itu. Dia khawatir dengan tidak adanya minta maaf dari
Australia tersebut, karena Presiden SBY memang memintanya untuk tidak
meminta maaf, maka surat itu tidak salah kalau tidak meminta maaf pada
Indonesia.
“Jadi, kalau Presiden SBY tetap tidak bersedia membuka isi surat Tony
Abbott tersebut, maka presiden tidak aspiratif terhadap suara rakyat
yang menghendaki dan ingin tahu isi surat balasan PM Australia itu,”
kata Tantowi Yahya.
Dia memperkirakan kalau politik luar negeri Indonesia tidak
dikerangkeng oleh asing, sehingga respon Presiden SBY lambat dalam hal
penyadapan Australia dan Amerika Serikat, yang merugikan bangsa
Indonesia secara lahir dan bathin. “Kelambanan itu karena ada pagar
diplomasi, maka pagar itu harus dirobohkan,” ujarnya. (A-109/A-88)***
No comments:
Post a Comment