Agresi militer Belanda, di Indonesia yang dibantu Australia dan
Inggris pada kurun tahun 1945-1950 banyak menyisakan kepedihan. Aksi itu
merupakan kejahatan perang luar biasa dengan korban jutaan rakyat
Indonesia.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB), Batara R Hutagalung, dalam acara seminar
Membuka Lembaran Sejarah Masalah RI dengan Belanda dan Sekutunya, di
Aula Wisma Sumodilogo, Kranggan, Temanggung, Minggu (24/11).
"Kita
harus bersama-sama mempertahankan kedaulatan negara, membela martabat
bangsa, memperjuangkan keadilan untuk korban agresi militer Belanda dan
sekutunya. Belanda juga harus meminta maaf atas kejahatan perang serta
pelanggaran HAM lainnya," ujar Hutagalung.
Antara tahun 1945-1950
melalui agresi yang dibantu kekuatan militer Inggris, Australia, Belanda
banyak melakukan kejahatan perang.
Pada rentang waktu itu
diperkirakan ada satu juta jiwa korban tewas, sebagian dari penduduk
sipil dibantai tanpa proses hukum apapun.
Sejauh ini, baru
sedikit pembantaian yang terungkap, seperti di Rawagede dengan korban
431 penduduk sipil. Keluarga korban melalui fasilitas KUKB berhasil
memenangi gugatan dengan konsekuensi pemerintah Belanda harus memberikan
kompensasi pada para penggugatnya.
Di Temanggung sendiri
pembantaian pernah terjadi di jembatan Kali Progo Kranggan oleh serdadu
Belanda yang menewaskan ribuan pejuang dan rakyat Indonesia.
Ada kemungkinan pula bagi keluarga korban untuk menuntut pemerintah Belanda atas kekejaman yang dilakukan di masa lampau.
"Intinya
dunia internasional, termasuk Indonesia dan Belanda sendiri kurang
mengetahui apa yang terjadi pada rentang 1945-1950 di Indonesia. Catatan
Belanda ada 120 kasus yang dinamakan ekses atau kejahatan perang, tapi
belum semua tercatat termasuk di Kranggan Temanggung, Rengat Provinsi
Riau, di Payakumbuh, dan lain-lain," terangnya.
No comments:
Post a Comment