06 Februari 2014. Pihak Korea Selatan pernah
menganggap enjinir Indonesia tak mengerti tentang perancangan jet
tempur. Tetapi anggapan itu segera berbalik, ketika tim Indonesia
memaparkan desain dan berbagai masukan. Pihak Indonesia pula yang
akhirnya berhasil menyakinkan bahwa berat lepas-landas pesawat harus
sebesar 50.000 pound.
Konfirmasi dari Parlemen Korea Selatan tentang dilanjutkannya program KFX/IFX
disambut hangat tim perancang dari Indonesia. Mereka di antaranya
meminta kedua pemerintahan segera memanggil para enjinir yang terlibat
untuk mempersiapkan pekerjaan yang telah lama tertunda. Mereka juga
menginginkan pemerintah kedua negara memastikan satu dari dua desain
yang telah dihasilkan dalam Fase Technology Development untuk digarap
dalam fase selanjutnya.“Program KFX/IFX adalah program multi-years, berbiaya besar, serta melibatkan berbagai sektor dan rekanan asing. Untuk itu memang harus ada deklarasi yang pasti tentang kelanjutannya. Bagi Indonesia ini penting untuk menentukan skema pembiayaan dan perencanaan SDM-nya,” ungkap Dr Rais Zain, M.Eng, KFX/IFX Configuration Design Leader kepada Angkasa, akhir Januari lalu.
“Dalam waktu dekat Indonesia juga akan menggarap N219 dan R-80. Kita
tak punya cukup enjinir untuk menggarap ketiga program, apalagi KFX/IFX
akan berlangsung sampai 2020-an. Pemerintah diharapkan bisa memanggil
pulang enjinir yang kini bekerja di luar negeri untuk ikut membantu
proses regenerasinya. Di luar ada sekitar 200 orang. Jika setengahnya
saja bisa kembali ke Tanah Air, itu sudah cukup membantu,” tambah Rais
yang juga dosen di Fakultas Teknik Penerbangan ITB, Bandung.
Seperti diberitakan berbagai media nasional, konfirmasi tentang
kelanjutan program pembuatan front-liner jet fighter Korea-Indonesia
diterima Kementerian Pertahanan RI pada 3 Januari 2014. Pemberitahuan
ini selanjutnya diumumkan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro kepada
wartawan, Rabu, 8 Januari 2014, di sela-sela Rapim Kemenhan di Jakarta.
Penjelasan disampaikan terkait paparan rencana pengadaan alut sista
dalam Renstra II, 2015-2019.
Pemerintah Indonesia berharap proyek pembuatan jet tempur generasi
4,5 itu bisa terlaksana karena bakal jadi rujukan program alih teknologi
untuk melepas ketergantungan dari negara lain. Selain KFX/IFX,
Indonesia juga tengah mengejar program pembuatan kapal selam, kapal
perang, propelan, roket, dan tank ukuran medium. Untuk kapal selam,
Indonesia juga menjalin kerjasama dengan negara yang sama.
Lebih unggul dari Su-35
Program KFX/IFX dihentikan sementara oleh pemimpin baru Korea Selatan, Park Geun-Hye akhir 2012 setelah meninjau kondisi finasial di negaranya. Proyek prestisius ini digarap sejak awal 2011, tak lama setelah Presiden Lee Myung-bak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan kerjasama bilateral di bidang pertahanan di Jakarta. Dari Fase Technology Development yang telah dituntaskan, tim ilmuwan telah menyelesaikan sejumlah desain yang kemudian mengerucut menjadi dua.
Program KFX/IFX dihentikan sementara oleh pemimpin baru Korea Selatan, Park Geun-Hye akhir 2012 setelah meninjau kondisi finasial di negaranya. Proyek prestisius ini digarap sejak awal 2011, tak lama setelah Presiden Lee Myung-bak dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkan kerjasama bilateral di bidang pertahanan di Jakarta. Dari Fase Technology Development yang telah dituntaskan, tim ilmuwan telah menyelesaikan sejumlah desain yang kemudian mengerucut menjadi dua.
Kedua desain itu adalah model jet tempur siluman peraih keunggulan
udara bermesin ganda dengan horizontal-tails di belakang, dan satunya
lagi dengan canards di depan. “Masing-masing punya konsekuensi
pembiayaan dan mitra kerja berbeda. Maka, memang harus diputuskan lebih
dulu mana yang dipilih. Ini penting agar manakala dilanjutkan, semua
pihak siap mengerjakannya,” terang Rais Zain, yang sehari-hari dosen di
Fakultas Teknik Mesin Dirgantara, ITB, Bandung.
Seperti dikemukakan Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin, Parlemen Korea
Selatan telah menyiapkan 20 juta dolar AS (sementara, Indonesia: 5 juta
dolar) untuk melanjutkan program ini pada 2015. Saat itu, tim akan masuk
ke Fase Engineering Manufacturing Development. Selain harus memiliki
mesin dengan tenaga dorong tinggi agar mampu bertarung di udara, pesawat
juga harus memiliki persenjataan yang disimpan di dalam internal weapon
bay, data-link yang mampu mengacak komunikasi, radar advanced pemilih
sasaran, dan perangkat anti-jamming.
Prototipe diharapkan selesai pada akhir Renstra II. Kalau pun ada hal
yang perlu dikritisi, itu adalah soal operation requirement yang lebih
banyak ditentukan pihak AU Korea. Hal ini tak bisa dielakkan karena
Korea menanggung 80 persen pendanaan, dan negeri ini benar-benar
memiliki musuh yang nyata. Program ini ditargetkan menelurkan jet tempur
dengan performa yang sepadan atau lebih unggul dari jet tempur lawan
yang di antaranya adalah Sukhoi Su-35.
Prasyarat tersebut dengan sendirinya menepis desain tandingan yang
diajukan KAI (Korean Aerospace Industrie) baru-baru ini, alih-alih untuk
memangkas biaya pengembangan yang kelewat besar. Dalam konfigurasinya
(lihat Angkasa, Desember 2013), tampak KFX tipe E ini hanya ditenagai
satu mesin dengan persenjataan di luar yang rawan sapuan radar lawan.
Angkasa mencermati kekaguman ADD (Agency for Defence Development,
Balitbang Pertahanan Korea) yang disampaikan kepada tim enjinir
Indonesia. Awalnya, pihak Korea memang sempat menganggap tim Indonesia
tak mengerti soal perancangan jet tempur. Namun, anggapan itu berbalik
ketika enjinir Indonesia mulai memaparkan desain dan berbagai masukan
terhadap desain Korea. Pihak Indonesia pulalah yang akhirnya memastikan
bahwa pesawat harus memiliki berat tinggal landas sebesar 50.000 pound. (A Darmawan/ Angkasa.co.id)/ JKGR
No comments:
Post a Comment