Pada masa Dinasti Abbasiyah , sejarah penaklukan pun
tertoreh. Wilayah kekuasaan dinasti yang memerintah berkisar 508 tahun
ini (750-1.258) terbentang dari Maroko hingga India.
Dengan berpusat di Baghdad, kerajaan pengganti Dinasti Umayyah membentuk sebuah kekuatan militer yang kuat. Tak hanya itu, militer Abbasiyah berhasil menciptakan beberapa inovasi artileri yang tergolong canggih pada masa itu.
Dengan berpusat di Baghdad, kerajaan pengganti Dinasti Umayyah membentuk sebuah kekuatan militer yang kuat. Tak hanya itu, militer Abbasiyah berhasil menciptakan beberapa inovasi artileri yang tergolong canggih pada masa itu.
Bentrokan terjadi di sepanjang perbatasan barat Kerajaan Abbasiyah. Usai mengalami serangkaian kemunduran, Kerajaan Abbasiyah sekali lagi berusaha menekan balik.
Dua serangan Harun ar-Rasyid yang spektakuler ketika masih menjadi pangeran mahkota menjadi tanda keberhasilan militer Abbasiyah.
Untuk mempertahankan negeri, Harun menempatkan pasukan di sepanjang garis pertahanan berkubu terbentang di seluruh Asia Kecil yang juga disebut Anatolia.
Saat ini, terkenal dengan nama Turki. Barikade disiagakan sepanjang Suriah hingga perbatasan Armenia. Kebijakan tersebut diikuti oleh musuhnya, Romawi, dari timur atau Byzantium.
Segera setelah penobatannya pada 786 Masehi, Harun menetapkan sebuah zona militer dari provinsi tersendiri yang disebut 'Awashim.
Provinsi ini diperintah seorang jenderal atau amir. Serbuan tahunan
tiap musim panas diluncurkan terhadap Byzantium dari markas provinsi
ini.
Kebanyakan serangan juga menghasilkan jumlah rampasan cukup besar. Kerajaan mendapat ghanimah berupa budak, barang berharga, dan barang-barang lain. Namun, beberapa upaya penyerbuan berakhir bencana.
Pada 791, pasukan Muslim mencapai Kaesarea dalam serangan perampasan seperti biasa. Dalam perjalanan pulang, mereka terperangkap dalam sebuah badai salju di pegunungan tinggi. Mereka pun kalah dalam dingin.
Armada militer
Benson Bobrick dalam The Caliph's Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, menulis, meskipun kekhalifahan tidak pernah mempertahankan angkatan bersenjata dalam ukuran sangat besar, jumlah tentara Abbasiyah cukup lumayan.
Jika dibutuhkan jumlah pasukan yang cukup besar, bisa dikumpulkan dalam waktu singkat dari serdadu umum yang diambil dari kelompok-kelompok suku.
Ada juga kesatuan-kesatuan tentara tetap yang menerima pembayaran rutin. Pasukan pengawal kerajaan merupakan pasukan elite.
Kebanyakan serangan juga menghasilkan jumlah rampasan cukup besar. Kerajaan mendapat ghanimah berupa budak, barang berharga, dan barang-barang lain. Namun, beberapa upaya penyerbuan berakhir bencana.
Pada 791, pasukan Muslim mencapai Kaesarea dalam serangan perampasan seperti biasa. Dalam perjalanan pulang, mereka terperangkap dalam sebuah badai salju di pegunungan tinggi. Mereka pun kalah dalam dingin.
Armada militer
Benson Bobrick dalam The Caliph's Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad, menulis, meskipun kekhalifahan tidak pernah mempertahankan angkatan bersenjata dalam ukuran sangat besar, jumlah tentara Abbasiyah cukup lumayan.
Jika dibutuhkan jumlah pasukan yang cukup besar, bisa dikumpulkan dalam waktu singkat dari serdadu umum yang diambil dari kelompok-kelompok suku.
Ada juga kesatuan-kesatuan tentara tetap yang menerima pembayaran rutin. Pasukan pengawal kerajaan merupakan pasukan elite.
Meniru cara Romawi-Byzantium, bala tentara dikelompokkan menjadi
kesatuan yang terdiri atas 10, 50, 100, dan 1.000 orang. Sebuah kesatuan
yang terdiri atas 100 orang membentuk sebuah kompi atau skuadron.
Beberapa kompi membentuk sebuah kelompok. Seribu orang membentuk sebuah batalion. Sementara, terdapat 10 ribu pasukan membentuk sebuah korps dengan amir atau jenderal sebagai kepalanya.
Beberapa kompi membentuk sebuah kelompok. Seribu orang membentuk sebuah batalion. Sementara, terdapat 10 ribu pasukan membentuk sebuah korps dengan amir atau jenderal sebagai kepalanya.
Setiap saat, 125 ribu serdadu Muslim ditempatkan di sepanjang
perbatasan Byzantium, Baghdad, Madinah, Damaskus, Rayy, dan lokasi
strategis lainnya untuk menangani kerusuhan.
Garnisun Baghdad, demikian riwayatnya, bermarkas di bagian utara dan barat Kota Bundar. Para perwira terkemuka memiliki kediaman sendiri, termasuk kepala kepolisian yang memiliki rumah tepat di luar Gerbang Kufah.
Para serdadu dari wilayah kerajaan yang berbeda cenderung membentuk distrik etnis mereka sendiri. Apel militer resmi kadang digelar di ibu kota. Kavaleri ringan dan berat, infanteri, dan pasukan panah berbaris di lapangan.
Kavaleri berat benar-benar dilapisi besi dengan helm dan perisai dada yang tebal. Seperti kesatria abad pertengahan, titik yang tak terlindungi di tubuh mereka hanyalah ujung hidung dan dua lubang kecil pada
mata mereka.
Pasukan infanteri yang bersenjata tombak, pedang, dan lembing juga sama mengesankan. Mengikuti tradisi Persia, mereka dilatih untuk berdiri begitu kokoh sehingga Bobrick menulis, "Anda akan mengira mereka dilekatkan erat-erat dengan penjepit perunggu."
Pasukan Muslim memiliki banyak alat pengepungan, seperti ketapel, pelontar, alat pelantak, tangga, serta besi pengait bertali dan kaitan. Semua ditangani insinyur militer.
Senjata utama pasukan Muslim untuk pengepungan pastinya adalah manjaniq, sebuah mesin tiang-ayun serupa dengan pelontar yang digunakan di Barat abad pertengahan.
Sejak abad ketujuh, alat ini menggantikan artileri puntiran (yang mendapat tenaga dari tali yang dipuntir) seperti yang digunakan pada masa klasik.
Rumah sakit lapangan dan ambulans dalam bentuk tandu yang diangkut unta menyertai pasukan di medan perang. Di masa Harun al Rrasyid, bangsa Arab bahkan telah mengembangkan granat pembakar.
Ini tidak mengejutkan. Di Irak, minyak bumi sudah dikenal sejak zaman kuno. Bahtera Nuh yang konon dibuat di Kota Najaf, menurut cerita, dilapisi dengan aspal batu bara.
Sejarawan Yunani, Herodotus, dan sejarawan Romawi, Strabo, menggambarkan penggunaan aspal oleh bangsa Babilonia dalam pembangunan gedung dan jalan raya.
Aspal kemudian digunakan bangsa Arab untuk mengawetkan anggur dalam tong-tong tembikar (seperti yang sudah dilakukan bangsa Romawi dan Yunani).
Nafta akhirnya digunakan dalam pembuatan peralatan pembakar. Menurut sejarawan Romawi, Ammianus Marcellinus, bangsa Persia sudah membubuhi ujung anak panah buluh mereka dengan getah yang mudah terbakar.
Garnisun Baghdad, demikian riwayatnya, bermarkas di bagian utara dan barat Kota Bundar. Para perwira terkemuka memiliki kediaman sendiri, termasuk kepala kepolisian yang memiliki rumah tepat di luar Gerbang Kufah.
Para serdadu dari wilayah kerajaan yang berbeda cenderung membentuk distrik etnis mereka sendiri. Apel militer resmi kadang digelar di ibu kota. Kavaleri ringan dan berat, infanteri, dan pasukan panah berbaris di lapangan.
Kavaleri berat benar-benar dilapisi besi dengan helm dan perisai dada yang tebal. Seperti kesatria abad pertengahan, titik yang tak terlindungi di tubuh mereka hanyalah ujung hidung dan dua lubang kecil pada
mata mereka.
Pasukan infanteri yang bersenjata tombak, pedang, dan lembing juga sama mengesankan. Mengikuti tradisi Persia, mereka dilatih untuk berdiri begitu kokoh sehingga Bobrick menulis, "Anda akan mengira mereka dilekatkan erat-erat dengan penjepit perunggu."
Pasukan Muslim memiliki banyak alat pengepungan, seperti ketapel, pelontar, alat pelantak, tangga, serta besi pengait bertali dan kaitan. Semua ditangani insinyur militer.
Senjata utama pasukan Muslim untuk pengepungan pastinya adalah manjaniq, sebuah mesin tiang-ayun serupa dengan pelontar yang digunakan di Barat abad pertengahan.
Sejak abad ketujuh, alat ini menggantikan artileri puntiran (yang mendapat tenaga dari tali yang dipuntir) seperti yang digunakan pada masa klasik.
Rumah sakit lapangan dan ambulans dalam bentuk tandu yang diangkut unta menyertai pasukan di medan perang. Di masa Harun al Rrasyid, bangsa Arab bahkan telah mengembangkan granat pembakar.
Ini tidak mengejutkan. Di Irak, minyak bumi sudah dikenal sejak zaman kuno. Bahtera Nuh yang konon dibuat di Kota Najaf, menurut cerita, dilapisi dengan aspal batu bara.
Sejarawan Yunani, Herodotus, dan sejarawan Romawi, Strabo, menggambarkan penggunaan aspal oleh bangsa Babilonia dalam pembangunan gedung dan jalan raya.
Aspal kemudian digunakan bangsa Arab untuk mengawetkan anggur dalam tong-tong tembikar (seperti yang sudah dilakukan bangsa Romawi dan Yunani).
Nafta akhirnya digunakan dalam pembuatan peralatan pembakar. Menurut sejarawan Romawi, Ammianus Marcellinus, bangsa Persia sudah membubuhi ujung anak panah buluh mereka dengan getah yang mudah terbakar.
No comments:
Post a Comment