Kontraktor pertahanan Amerika Serikat, Northrop Grumman Corp.
berharap dapat memasarkan pesawat tanpa awak (drone) militer ke
Singapura guna membantu negara tersebut memantau lalu lintas udara serta
perairan Selat Malaka.
Kawasan perairan yang memisahkan Pulau Sumatera dan Semenanjung
Malaka adalah rute perjalanan laut terpendek yang mengubungkan Teluk
Persia dan pasar Asia. Lebih dari 70.000 kapal per tahun melewati selat
tersebut dengan mengangkut sepertiga volume dagang. Selain itu, hampir
setengah pengapalan minyak dunia pun melalui jalur itu.
“Pentingnya memiliki kemampuan intelijen, pengawasan, dan pengintaian
untuk mengawasi lalu-lintas itu…menandai bahwa [Singapura]
memiliki…sebuah sistem yang mampu bertahan di udara dengan waktu lama
dan mencakup kawasan perairan yang sangat luas,” ujar David Perry,
direktur pengembangan usaha global Singapore Airshow.
Perry mengatakan bahwa Northrop berhasrat memperlengkapi Singapura dengan kemampuan itu dengan produk perusahaan.
Kontraktor pertahanan terbesar keenam dunia itu bersama puluhan
perusahaan lain turut serta dalam pameran dirgantara pekan ini di
Singapura. Kehadiran itu menjadi bagian dari upaya memasuki pasar
pertahanan yang berkembang pesat di Asia dan Timur Tengah. Para
penyelenggara cara berharap pelbagai kesepakatan bernilai hampir $25
miliar akan ditandatangani selama ajang berlangsung.
Pesawat tanpa awak memiliki posisi penting dalam penjualan global
Northrop. Perusahaan itu pun telah mendapat keringanan ekspor pesawat
tanpa awak seperti Global Hawk dan Triton dari pemerintah AS. 10%
penerimaan perusahaan pada 2012 berasal dari pelanggan militer luar
negeri, tertinggal dari pesaing semacam Lockheed Martin Corp.
Harga Triton—berukuran setara pesawat kecil—sekitar $100 juta dan
dapat bertahan di udara selama lebih dari 24 jam pada ketinggian di atas
55.000 kaki. Pesawat yang masih diujicobakan oleh Angkatan Laut AS itu
memiliki radar 360 derajat serta sensor infra merah dan kamera optik
untuk menyurvei wilayah laut dan pesisir.
Sementara itu, Perry mengatakan pesawat canggih itu kemungkinan tidak
cocok dipakai oleh negara lain Asia Tenggara. Pasalnya, kebanyakan
negara itu tak perlu mengawasi wilayah luas dengan terperinci.
“[Negara-negara] itu tidak punya ‘choke point’ [seperti Selat Malaka]
yang mengundang risiko. Mereka pun tak memiliki volume dagang [sebesar
Singapura],” ujar sang eksekutif.
No comments:
Post a Comment