Baghdad:
Pemerintah Irak yang dipimpin Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki masih
berusaha memukul mundur pejuang militan yang berafiliasi dengan Al
Qaeda dari dua kota di Provinsi Anbar, yaitu Falluja dan Ramadi.
Pertempuran di daerah ini, menurut taksiran badan pengungsi PBB, UNHCR
(United Nations High Commissioner for Refugees), menyebabkan tak kurang
dari 65 ribu warga meninggalkan daerah itu hanya dalam pekan lalu saja.
Pertempuran antara pasukan Irak dan pemberontak serta kelompok yang memiliki afiliasi dengan Al-Qaidah itu menimbulkan dilema bagi Pemerintah Amerika Serikat, yang tentara terakhirnya keluar dari negara ini Desember 2011 setelah hampir satu dekade di sana. Di satu sisi pemerintah Barack Obama tak setuju dengan pendekatan sektarian yang dipakai Nouri al-Maliki soal politik dalam negeri. Di sisi lain, ia mengkhawatirkan kebangkitan Al Qaeda di negara itu. Al Qaeda adalah organisasi yang dituding AS berada di balik serangan 11 September 2001 di bumi Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang.
Pertempuran di daerah ini memaksa AS mempercepat penjualan perlengkapan militer ke Irak, termasuk 10 drone ScanEagle dan 48 drone Raven --yang katanya murni untuk pengintaian. Pengiriman 75 rudal Hellfire dari Amerika juga sudah tiba di Irak awal tahun ini. Kekhawatiran akan menguatnya Al Qaeda di kawasan ini yang membuat Amerika memutuskan segera membantu pemerintah Maliki.
Pengambilalihan pusat kota Falluja dan pinggiran Ramadi oleh demonstran dari kelompok Sunni, termasuk grup Al-Qaida Islamic State of Iraq and Syria (Isis), menjadi isu simbolis penting bagi Amerika. Dua kota itu menjadi tempat pertempuran berdarah selama pasukan internasional yang dipimpin AS melakukan invasi ke sana untuk menjatuhkan Saddam Husein tahun 2003 lalu.
"Hal ini amat memalukan bagi AS. Ini adalah kota ikon yang direbut dengan biaya yang sangat besar oleh Amerika Serikat. Sangat memalukan melihatnya diambil alih lagi oleh kelompok Islamis," kata Shashank Joshi, seorang spesialis keamanan Timur Tengah yang berbasis di London, Royal United Services Institute.
Profesor hubungan internasional di London School of Economics Toby Dodge yakin pemerintah Irak bisa mengalahkan Al-Qaidah. Militer Irak berkekuatan 933.000 personel, sedangkan anggota Al-Qaida sekitar 3.000, naik tiga kali lipat dari jumlah tahun 2011. Namun Joshi memperingatkan bahwa Al-Qaidah hanya satu unsur dalam koalisi yang menentang pemerintahan Maliki.
Maliki, dari suku Syiah, dituduh menciptakan krisis dengan menjalankan kebijakan sektarian dan mendepak kolega Sunni-nya dari posisi-posisi penting pemerintahan. Kongres AS memblokir penjualan helikopter tempur Apache kepada pemerintah Irak karena khawatir itu dapat digunakan untuk membungkam rival Sunni-nya. Tapi, Gedung Putih, yang khawatir dengan kebangkitan Al-Qaidah, mendukung penjualan itu.
Menurut pengamat pertahanan, masalah yang dihadapi Gedung Putih dalam beberapa minggu mendatang adalah bagaimana mendukung pemerintah Irak di Falluja dan Ramadi tanpa mendorong Maliki beranggapan ia tidak harus mencari solusi politik atas situasi terakhir di negaranya. "Semakin banyak Anda memberi dukungan kepada dia sehingga merasa ada solusi militer murni, semakin sulit untuk membujuknya berkompromi dengan lawan Sunni-nya," kata Joshi.
Anthony Cordesman dan Sam Khazai dari Washington for Strategic International Studies, dalam sebuah laporan berjudul Iraq in Crisis, beberapa waktu lalu, memberi gambaran yang lebih pesimistis. "Tidak ada kekuatan dari luar yang dapat mengubah situasi. Mengingat perpecahan politik di Irak dan kepemimpinannya, yang paling bisa dilakukan AS dan negara-negara luar adalah memilih alternatif yang buruk atau opsi yang paling buruk," kata laporan itu.
No comments:
Post a Comment