Penciptaan Zona Identifikasi Pertahanan Udara
[Air Defense Identification Zone atau ADIZ] oleh China baru-baru ini di
atas Laut China Timur dengan cepat menuai kritik dunia. Sementara itu,
sebuah zona pantau maritim yang mencakup bagian dari Laut China Selatan
yang diumumkan secara diam-diam enam hari kemudian juga membawa
keprihatinan.
Provinsi Hainan, yang meliputi Pulau Hainan dan daerah langsung di
sekitarnya, mengumumkan zona identifikasi maritim baru yang mengatur
penangkapan ikan di perairan teritorial provinsi tersebut pada 29
November, menurut Kantor Berita China.
Zona baru ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2014, dan meliputi luas
perairan perikanan lebih dari 2 juta kilometer persegi [772.204 mil
persegi] yang dikelola oleh pejabat Hainan di Laut China Selatan.
“Semua orang asing dan perahu nelayan asing yang memasuki perairan
yang dikelola oleh Provinsi Hainan untuk melakukan penangkapan ikan atau
survei perikanan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari kantor
Dewan Negara RRC [Republik Rakyat China] yang sesuai,” Pemerintah China
mengumumkan.
Pengumuman itu menuai sedikit tanggapan dari masyarakat nelayan
hingga kini. Zona pantau baru ini akan meliputi wilayah maritim yang
diklaim oleh beberapa negara lain, terutama oleh Vietnam, yang merupakan negara asing terdekat dengan Hainan.
Dengan menerapkan ADIZ pada 23 November, China pada dasarnya menuntut
agar segala pesawat – komersial, militer, atau lainnya – harus memberi
tahu maksud dan tujuannya kepada pejabat China dan menaati peraturan
penerbangan atau menghadapi konsekuensi yang mengerikan.
Zona pantau baru Hainan – pada dasarnya sebuah ADIZ maritim – mungkin
akan merupakan zona pertama dari beberapa zona serupa yang mungkin akan
diterapkan China dalam upaya penjangkauan yang lebih jauh di perairan
China Timur dan China Selatan.
Dengan penerapan ADIZ yang mencakup Kepulauan Senkaku yang
dipersengketakan [dikenal sebagai Kepulauan Diaoyutai di China], serta
kepulauan kecil lainnya di seluruh Laut China Timur, ada kemungkinan
bahwa klaim wilayah maritim China akan lebih meluas secara signifikan,
dengan Hainan sebagai zona pertama dari beberapa zona yang direncanakan.
Contohnya, Pangkalan AL Sanya City, Hainan, adalah pelabuhan basis baru bagi Liaoning, kapal induk pertama China, menurut Kantor Berita Xinhua.
“Pengerahannya meningkatkan ketegangan dan melanggar deklarasi
perilaku para pihak di [Laut China Selatan],” kata juru bicara Luar
Negeri Filipina Raul Hernandez pada konferensi pers baru-baru ini
yang mencela keberadaan Liaoning di Hainan, Inquirer Global Nation yang
berbasis di Filipina melaporkan.
“Pengerahannya jangan sampai melanggar hukum internasional termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut [UNCLOS]. Maka dari itu pengerahannya tidak boleh untuk selain tujuan perdamaian.”
Kebuntuan masalah Gosong Scarborough
Konflik terbaru yang paling menonjol antara kedua negara ini terjadi
pada bulan April 2012, ketika terjadi kebuntuan antara kapal Angkatan
Laut China dengan kapal AL Filipina di Gosong Scarborough.
Petugas Filipina ingin menangkap nelayan China yang berada di dalam
200 mil laut zona eksklusif Filipina atas dugaan penangkapan gelap
beragam spesies laut, termasuk beberapa jenis yang terancam punah.
Kapal-kapal Pantau Maritim China datang membantu para nelayan China,
dan pada dasarnya mengusir paksa nelayan Filipina dari daerah itu.
Konflik atas beting itu berlanjut hingga kini, dengan kedua negara
tersebut mengklaim hak wilayah itu.
Peraturan penangkapan ikan untuk wilayah Hainan diumumkan setahun lalu
Ironisnya, pengumuman kebijakan-kebijakan Hainan yang baru dan yang
diperluas muncul setahun penuh – pada hari yang tepat – setelah
kontroversi terbaru yang melibatkan perairan teritorial pulau tersebut.
Pada 29 November 2012, pejabat Hainan menyatakan peraturan baru yang,
menurut koran negeri China Daily, mengizinkan polisi dan Penjaga Pantai
untuk mencegat, menaiki, dan menginspeksi kapal asing yang “masuk
secara tak sah” ke perairan China dan memaksanya untuk ganti haluan.
Pengumuman itu menuai perhatian lebih banyak baik di daerah
sekitarnya langsung maupun di dunia, daripada deklarasi yang terbaru
karena hal itu mengancam perairan pelayaran internasional yang penting
yang dilalui oleh sepertiga jumlah barang perdagangan dunia.
Tak lama setelah China mengumumkan peraturan tersebut, Kementerian
Luar Negeri Filipina mengeluarkan sebuah pernyataan: “Tindakan yang
direncanakan oleh China ini tidak sah dan akan menguatkan pernyataan
yang terus dan berulang kali dikeluarkan oleh Filipina bahwa klaim
kedaulatan China yang tak terbantahkan atas hampir seluruh Laut China
Selatan tidak hanya klaim yang berlebihan, tapi juga ancaman terhadap
semua negara.”
Namun, ketakutan atas peraturan tersebut agak menurun ketika Wu
Shicun, Direktur Jenderal Luar Negeri Provinsi Hainan, mengatakan kapal
China akan menghalangi kapal asing yang diyakini melakukan “kegiatan tak
sah” yang samar-samar dan tak terdefinisi, dan hanya di dalam zona
maritim 12 mil laut yang diklaim China saat itu.
ASEAN ‘terpecah tanpa harapan’
Kini, dengan deklarasi peraturan terbaru Hainan, tampaknya China
sedang bersiap-siap untuk melebarkan jangkauannya dan penguasaannya atas
“hak berdaulat” di perairan teritorial yang diklaim oleh negara-negara
lain termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, Indonesia, dan
Brunei.
“Di ASEAN [perhimpunan 10 bangsa Asia Tenggara], ada keengganan untuk
menghadapi China; mereka terpecah tanpa harapan,” kata Bonnie Glaser
dari Center for Strategic and International Studies menyusul penerapan
peraturan Hainan tahun lalu, sebuah pernyataan yang masih benar adanya
hingga kini.
Beberapa analis Asia Tenggara, termasuk Ian Storey dari Institute of
Southeast Asian Studies, Singapura, menyebut tindakan China sebagai
“langkah bicara dan mengambil.”
Beberapa analis mengatakan peraturan terbaru Hainan bisa jadi sebuah
tabir asap: Tujuan sebenarnya mungkin keinginan China untuk menguasai
cadangan minyak dan gas yang diyakini terdapat di seluruh lautan China
Timur dan China Selatan, termasuk di daerah sekitar Kepulauan Senkaku.
“Strategi [China] adalah mengubah status quo wilayah dan maritim
melalui serangkaian tindakan kecil tapi progresif yang dirancang untuk
menjalankan ‘kedaulatan secara merambat’ atas wilayah-wilayah sengketa,”
tulis kolumnis John Lee pada 27 November di BusinessSpectator.com.
Jepang mendorong balik
Negara-negara yang mampu menghadapi China langsung atau tak langsung akan melakukannya.
Pertahanan yang terus ditingkatkan oleh Jepang di Senkaku, termasuk
di ADIZ China di Laut China Timur, merupakan satu contoh. Contoh lainnya
adalah rencana Jepang untuk membangun pangkalan Angkatan Darat pada
tahun 2016 di pulau tak berpenghuni dekat Senkaku.
Militer Jepang juga merencanakan menempatkan lebih banyak jet tempur
F-15, pesawat radar, dan pengangkut helikopter baru di Okinawa, yang
terletak sekitar 200 mil laut dari Senkaku. Tim keamanan dari partai
yang berkuasa di Jepang pada 12 Desember menyetujui sebuah ikhtisar
Program Pertahanan Jangka Menengah yang merincikan perubahan tersebut,
dilaporkan olehJapan News. Langkah ini akan meningkatkan jumlah total eskadron F-15 hingga dua eskadron.
Pada akhir Oktober, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan dia akan memerintahkan militernya untuk menembak jatuh dron [UAV otomatis] China yang
tersasar ke wilayah udara Senkaku. Namun Jepang mengamati kemungkinan
membeli dan mengerahkan dron Amerika untuk melakukan patroli di daerah
tersebut. Kementerian Pertahanan Jepang telah meminta USD 2 juta untuk
melakukan penelitian dengan tujuan membeli setidaknya sebuah dron pada
tahun anggaran 2015.
No comments:
Post a Comment