Teheran - Israel tengah ketar-ketir. Awal pekan ini, Iran mengumumkan unmanned aerial vehicle (UAV) alias pesawat tanpa awak atau drone
terbaru mereka. Pesawat tak berawak yang diberi nama Fotron itu diklaim
mempunyai kemampuan menjangkau sebagian besar Timur Tengah, dan yang
paling ditakutkan Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk wilayah
Israel.
Kemampuan Iran dalam membangun drone cukup mengkhawatirkan banyak pihak, terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Sanksi yang dijatuhkan kepada Teheran sejak 2006 berdasarkan kekhawatiran negara-negara Barat jika mereka mengembangkan program senjata nuklir ternyata tidak menghalangi negara itu mengembangkan persenjataannya.
Kemampuan Iran dalam membangun drone cukup mengkhawatirkan banyak pihak, terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Sanksi yang dijatuhkan kepada Teheran sejak 2006 berdasarkan kekhawatiran negara-negara Barat jika mereka mengembangkan program senjata nuklir ternyata tidak menghalangi negara itu mengembangkan persenjataannya.
“Pesawat ini sukses menjalankan uji coba sekaligus menunjukkan bahwa sanksi internasional bukan halangan untuk kemajuan industri pertahanan Iran,” kata Menteri Pertahanan Iran Mohammad Dehgan. Ia mengatakan Fotron bisa menjalankan misi pengintaian atau melakukan serangan dengan menembakkan peluru kendali udara ke darat. Kabarnya, drone ini dipersenjatai dengan rudal Sadid-1.
Tak ada yang tahu pasti berapa jumlah drone, baik hanya untuk pengintaian maupun untuk serangan, yang dimiliki Iran. Data International Institute for Strategic Studies (IISS) menyebutkan, Iran diketahui hanya memiliki drone jenis Mohajer 4. Namun data lain menyatakan Teheran sudah memiliki teknologi pesawat tanpa awak ini sejak tiga tahun lalu. Mereka memiliki Karrar (Agustus 2010), Haazem (September 2012), Shahed-129 (September 2013), dan Yasseer (September 2013).
Penggunaan pesawat tanpa awak kini menjadi tren di beberapa negara. Namun hanya Amerika (dalam operasi memberantas Al-Qaidah di Pakistan, Yaman, Somalia, dan Afganistan), Israel (saat menyerang Hizbullah di Libanon dan Hamas di Gaza), serta Inggris (di Afganistan) yang menggunakan drone untuk serangan militer.
Sejauh ini, Amerika masih memimpin, baik dari sisi jumlah maupun kecanggihan drone. Diperkirakan Negeri Abang Sam memiliki sekitar 7.000 unit drone, sebagian tidak bersenjata. Angkatan Udara tidak menyebutnya sebagai unmanned aerial vehicle (UAV),tetapi remotely piloted aircraft (RPA). Sebab, drone tetap saja dikendalikan manusia.
Philip Finnegan, direktur analisis perusahaan di Teal Group, sebuah perusahaan yang melacak pertahanan dan pasar kedirgantaraan, mengatakan bahwa pengeluaran global untuk penelitian dan pengadaan drone selama satu dekade terakhir diperkirakan lebih dari US$ 94 miliar, termasuk US$ 9 miliar khusus untuk RPA.
PW Singer dari Brookings Institution dalam buku terbitan 2009 berjudul Wired for War menyebutkan, kemampuan mengintai, ketepatan sasaran, biaya yang lebih rendah, dan—yang terpenting—mengurangi risiko kehilangan personel menjadi alasan drone menjadi populer. Diperkirakan total ada 50 negara yang mengembangkan atau membangun drone di seluruh dunia. “Dunia tengah mengembangkan teknologi yang paling menakutkan,” kata Dennis M. Gormley, peneliti senior di University of Pittsburgh dan penulis buku Missile Contagion.
No comments:
Post a Comment