Jenderal Besar TNI Anumerta Raden
Soedirman (Ejaan Soewandi: Soedirman) (lahir di Bodas Karangjati,
Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 - meninggal di Magelang, Jawa
Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun)[a] adalah seorang perwira
tinggi militer Indonesia dan panglima besar pertama Tentara Nasional
Indonesia yang berjuang selama masa revolusi kemerdekaan.
Soedirman dilahirkan di Purbalingga,
Hindia Belanda oleh pasangan wong cilik, lalu diangkat oleh pamannya,
yang merupakan seorang priyayi. Setelah dibawa pindah bersama
keluarganya ke Cilacap pada akhir tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi
siswa yang rajin; ia juga sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler,
termasuk organisasi pramuka bentukan organisasi Islam Muhammadiyah.
Saat
masih di sekolah menengah, Soedirman telah menunjukkan kemampuan
sebagai pemimpin; ia juga dihormati dalam masyarakat karena taat pada
agama Islam. Setelah keluar dari sekolah guru, ia menjadi guru di sebuah
sekolah rakyat milik Muhammadiyah pada tahun 1936; Soedirman akhirnya
diangkat sebagai kepala sekolah itu.
Soedirman juga aktif dengan berbagai
program Muhammadiyah lain, termasuk menjadi salah satu pemimpin
organisasi Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah pendudukan
Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Soedirman terus mengajar. Pada
tahun 1944 ia bergabung dengan angkatan Pembela Tanah Air (PETA) yang
disponsori Jepang sebagai pemimpin batalyon di Banyumas. Saat menjadi
perwira PETA, Soedirman berhasil menghentikan sebuah pemberontakan yang
dipimpin anggota PETA lain, tetapi akhirnya ditahan di Bogor. Setelah
proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman
dan tahanan lain melarikan diri. Soedirman kemudian pergi ke Jakarta
dan bertemu dengan Presiden Soekarno. Di Jakarta, Soedirman ditugaskan
untuk mengurus penyerahan prajurit Jepang di Banyumas, yang ia lakukan
setelah mendirikan salah satu cabang Badan Keamanan Rakyat (TKR). Dengan
merampas senjata dari Jepang, pasukan yang dipimpin Soedirman dijadikan
bagian dari Divisi V 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip
Soemohardjo; Soedirman dijadikan panglima dari divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman
terpilih dalam suatu pemilihan Panglima Besar TKR yang diadakan di
Yogyakarta. Saat menunggu konfirmasi, Soedirman memimpin suatu serangan
terhadap pasukan Sekutu di Ambarawa. Keterlibatannya dalam Palagan
Ambarawa membuat Soedirman mulai dikenal di masyarakat luas. Ia akhirnya
dikonfirmasikan sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Dalam
tiga tahun berikutnya Soedirman menyaksikan ketidakberhasilan negosiasi
dengan pasukan kolonial Belanda, pertama setelah Persetujuan Linggajati
lalu setelah Persetujuan Renville-yang mengakibatkan Indonesia harus
menyerahkan wilayah yang diambil oleh Belanda pada Agresi Militer I. Ia
juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk suatu percobaan
kudeta pada tahun 1948. Menjelang kematiannya, Soedirman menyalahkan
hal-hal ini sebagai penyebab penyakit tuberculosisnya; karena infeksi
tersebut, paru-parunya yang kanan dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa
hari setelah Soedirman pulang dari rumah sakit, pemerintah Belanda
meluncurkan Agresi Militer II, suatu usaha untuk menduduki ibu kota di
Yogyakarta. Meskipun banyak pejabat politik mengungsi ke kraton,
Soedirman bersama sejumlah pasukan dan dokter pribadinya menuju ke arah
selatan dan melakukan perlawanan gerilya sepanjang tujuh bulan. Awalnya
mereka diikuti pasukan Belanda, tetapi akhirnya mereka berhasil kabur
dan mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Di Sobo ia
dan pasukannya menyiapkan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang akhirnya
dipimpin Letnan Kolonel Suharto.
Setelah Belanda mulai mengundurkan diri,
pada bulan Juli 1949, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta.
Meskipun ia hendak mengejar pasukan Belanda, ia dilarang oleh Soekarno.
Karena kelelahan setelah berbulan-bulan bergerilya, tuberculosis
Soedirman tumbuh lagi; akibatnya ia pergi ke Magelang untuk
beristirahat. Ia meninggal kurang lebih satu bulan setelah Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia. Sekarang Soedirman dikuburkan di Taman
Makam Pahlawan Kusuma Negara di Yogyakarta.
Rakyat Indonesia berduka cita setelah
kematian Soedirman; bendera dikibarkan setengah tiang di seluruh
Nusantara dan ribuan orang mengikuti pemakamannya. Sampai sekarang
Soedirman sangat disegani di Indonesia. Perang gerilyanya dianggap
sebagai asal usul semangat Tentara Nasional Indonesia, termasuk
perjalannya yang sepanjang 100 kilometer harus ditempuh oleh kadet
Indonesia sebelum mereka lulus dari Akademi Militer. Gambar Soedirman
ditampilkan pada uang kertas Rupiah keluaran 1968, dan namanya
diabadikan di banyak jalan, museum, dan monumen. Pada tanggal 10
Desember 1964 ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Kehidupan awal
Sudirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem sewaktu mereka tinggal bersama Tarsem, saudara Siyem satu dari tiga wanita yang dikawini Raden Cokrosunaryo, seorang camar di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda.
Sudirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem sewaktu mereka tinggal bersama Tarsem, saudara Siyem satu dari tiga wanita yang dikawini Raden Cokrosunaryo, seorang camar di Rembang, Bodas Karangjati, Purbalingga, Hindia Belanda.
Karier militer
Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.[3] Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.[3] Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas
dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12 November
1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan
Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis,
walaupun begitu selanjutnya dia tetap terjun langsung dalam beberapa
kampanye perang gerilya melawan pasukan NICA Belanda.
Peran dalam revolusi nasional Indonesia
Menangnya Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan Belanda untuk datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia sekarang), bekas jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka. Setelah menyerahnya pasukan Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang. Ternyata pasukan sekutu datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda yang hendak mengambil kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal tersebut, TKR pun terlibat dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Menangnya Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan Belanda untuk datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia sekarang), bekas jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka. Setelah menyerahnya pasukan Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang. Ternyata pasukan sekutu datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda yang hendak mengambil kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal tersebut, TKR pun terlibat dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Perang besar pertama yang dipimpin
Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan
NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember
1945.Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman
terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada
tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak
terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang
berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan
Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.
No comments:
Post a Comment