Sekarang ini tidak ada negara yang menarik perhatian besar dunia
karena perkembangan kekuatan militernya selain Tiongkok, kekuatan
ekonomi terbesar kedua di dunia, yang sedang menjalankan program
modernisasi militer yang dijadwalkan selesai tahun 2049.
Rencana jangka panjang Tiongkok meliputi kombinasi atas personel
militer yang efisien, kemampuan “informationization” [juga dikenal
sebagai “peperangan berpusat pada jaringan”], bersama dengan pesawat
baru, kapal induk, kapal selam, dan kendaraan darat berteknologi tinggi
yang menggunakan navigasi satelit guna menentukan datangnya rudal dan
menyerang sasaran secara akurat.
Tiongkok juga menarik perhatian negara-negara lain, terutama Amerika
Serikat dan para tetangganya di Asia-Pasifik, karena anggaran pertahanan
tahunannya menunjukkan kenaikan dua digit selama dua dasawarsa
terakhir. Pemerintahnya mengumumkan peningkatan pembelanjaan militer sebesar 12,2 persen menjadi USD 132 miliar untuk tahun 2014, melanjutkan perkembangan yang berlangsung.
Besarnya pembelanjaan pertahanan Tiongkok terbesar nomor dua setelah
Amerika Serikat, yang kira-kira empat kali lipat jumlah USD 526,8 miliar
untuk tahun 2014. Para analis militer mencatat bahwa pengeluaran
Beijing sebenarnya lebih tinggi dari angka resminya karena tidak
menyertakan pembelian senjata asing dan biaya penelitian untuk senjata
baru sebagaimana disertakan di dalam angka belanja tahunan negara-negara
lain.
Anggaran pertahanan Tiongkok saat ini jauh berbeda dari sekitar dua
dasawarsa lalu ketika mereka hanya memiliki kekuatan militer yang sangat
mendasar dengan kemampuan terbatas dan pengeluaran militer sebesar USD
25,32 miliar, atau 2,5 persen dari PDB, menurut Stockholm International Peace Research Institute [SIPRI].
Tetapi dengan berkembangnya ekonomi Tiongkok, para pemimpin Partai
Komunis mulai lebih banyak belanja di bidang pertahanan, membayangkan
transformasi bangsa mereka menjadi sebuah kekuatan besar.
Samuel Perlo-Freeman, Direktur Program Pengeluaran Militer &
Produksi Senjata di SIPRI, yang telah mengumpulkan data mengenai
pengeluaran pertahanan Tiongkok dari tahun 1989 hingga 2012, menyinggung
bahwa pemerintah selama ini mempertahankan penaikan pembelanjaan
sebesar 2 hingga 2,1 persen dari PDB. Hal ini menunjukkan bahwa
Tiongkok, secara rata-rata tetapi tidak setiap tahunnya, cenderung
meningkatkan pembelanjaan militer pada taraf yang serupa dengan
pertumbuhan ekonominya.
“Kebijakan ini sepertinya akan terus berlanjut dalam jangka menengah
sejalan dengan kebijakan keseluruhan yang mensubordinasikan perkembangan
militer pada perkembangan ekonomi, tapi ini lebih sulit diramalkan
selama jangka waktu 25 tahun karena lingkungan keamanan dapat berubah
total secara tak terduga,” kata Perlo-Freeman.
Pembelanjaan akan meningkatkan teknologi
Satu generalisasi tentang kemampuan militer Tiongkok yang berkembang
cepat adalah bahwa militernya akan lebih canggih secara teknis, tapi
masih di belakang Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang lebih
maju. Tetapi negara itu akan membuat kemajuan dalam produksi senjata
canggih serta di bidang “informationization.”
Ted Galen Carpenter, anggota senior untuk studi pertahanan dan
kebijakan asing di Cato Institute di Washington, DC, mengatakan Tiongkok
akan terus membangun kemampuannya di bidang-bidang penting, meski tidak
akan menutup kesenjangan besarnya dengan Amerika Serikat.
“Tiongkok akan mencoba terus membangun kemampuan udara, laut, dan
dunia mayanya selama 25 tahun ke depan, tapi mereka masih jauh untuk
bisa menjadi pesaing militer setara AS,” tulisnya dalam sebuah surel.
Roger Cliff, analis tentang Tiongkok dan persoalan keamanan Asia
Timur dari Atlantic Council di Washington, DC, mengatakan bahwa selama
dasawarsa ke depan, Tiongkok akan meningkatkan pelatihan dan kualitas
personel, memperbaiki doktrin militer dan pemantauan logistik, membangun
kapal induk dan kapal serbu amfibi tambahan, membuat kemajuan di gelanggang dunia maya,
dan meraih kemampuan proyeksi kekuatan berjarak lebih jauh, tergantung
pada seberapa besar investasinya pada pesawat pengisi bahan bakar di
udara, kapal pemasok perbekalan, pesawat angkut strategis, dan pesawat
pengebom jarak jauh.
Dia menyinggung bahwa Tiongkok hanya melakukan sedikit upaya di
bidang-bidang tersebut kecuali membangun lebih banyak kapal pemasok
perbekalan. Cliff juga meramalkan peningkatan sederhana pada kekuatan
nuklir Tiongkok dengan pengerahan tambahan rudal balistik antarbenua
[ICBM] daratan dan kapal selam rudal balistik.
Perlo-Freeman menunjukkan bahwa kemampuan Tiongkok menjalankan
operasi gabungan dalam hal persoalan struktural dan organisasi masih tak
jelas karena akan melibatkan perubahan besar secara budaya dan
teknologi.
“Sebagian besar ahli menduga Tiongkok akan terus maju secara
teknologi, baik dalam hal perangkat keras maupun ‘informationization,’
meski jalan yang harus mereka tempuh masih panjang,” tulisnya dalam
sebuah surel kepada APDForum. “Tetapi aspek-aspek budaya dan organisasi
lebih sulit untuk diramalkan, terutama jika [diharapkan] hal ini tidak
benar-benar diuji dalam konflik aktif.”
Para analis pertahanan juga mengatakan program modernisasi militer
Tiongkok mengubah lingkungan keamanan di kawasan Asia-Pasifik. Meski
Tiongkok mengatakan ada pada jalur “pembangunan damai,” beberapa negara
tetangganya mengamatinya dengan saksama, mungkin bahkan takut, terhadap
pembangunan militer dan pembelanjaan pertahanannya, terutama pada
saat-saat luapan sengketa maritim atas wilayah di lautan dan klaim
Tiongkok atas beberapa perairan dengan potensi sumber daya ikan, minyak,
gas, dan mineral.
Kemampuan PLA diduga akan meningkat
“Pada tahun 2030, kemampuan PLA [Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok]
diduga akan jauh lebih hebat dan akan menjadi yang paling dominan di
beberapa bagian di Pasifik bagian barat,” tulis analis pertahanan dari
Australia, Ross Babbage, dalam Australia's Strategic Edge in 2030.
Publikasi tahun 2011 itu berpendapat bahwa lingkungan keamanan kawasan
akan menjadi berbeda dalam kira-kira 20 tahun ke depan karena
perkembangan kemampuan PLA dan sikap Tiongkok yang lebih asertif, yang
akan menantang AS dan sekutunya di Asia-Pasifik.
Babbage meramalkan bahwa sebagaian besar bangsa di kawasan akan
mengandalkan campuran antara peningkatan kekuatan militer sendiri,
membentuk aliansi di daerah tersebut, dan ketergantungan pada
penyeimbangan kembali Amerika di kawasan untuk mengimbangi
langkah-langkah Tiongkok. Dia menulis dalam sebuah surel bahwa banyak
negara di kawasan yang takut bukan saja karena mereka percaya Tiongkok
tidak bisa dipercayai, tapi juga karena mereka melihat bagaimana negara
itu bersikap dalam sengketa maritim dan operasi dunia maya dan intelijen
yang mereka jalankan akhir-akhir ini.
Filipina melakukan pembelian peralatan militer
Pada tahun 2012, Presiden Benigno Aquino III menandatangani Revisi UU
Modernisasi Angkatan Bersenjata Filipina, memperluas program tersebut
untuk memperoleh peralatan militer untuk 15 tahun berikutnya.
SIPRI melaporkan bahwa selama dasawarsa terakhir, Vietnam dan Indonesia juga
telah menaikkan pembelanjaan militernya sebesar masing-masing 130
persen dan 73 persen, berinvestasi pada peralatan angkatan laut, tapi
untuk alasan yang berbeda. Vietnam membangun armadanya sebagai
respons terhadap meningkatnya agresifitas Tiongkok di Laut Tiongkok
Selatan, sementara Indonesia melakukan program modernisasi militer untuk
menguasai pulau-pulaunya yang tersebar dan perairan sekitar.
No comments:
Post a Comment