I
Love You, Natuna..! Seandainya kisah pembuangan seorang tokoh
berpengaruh di suatu negara masih ada hingga ke saat ini, maka saya
memimpikan untuk menjadi tokoh itu yang dibuang ke Natuna. Hehehe..! Its my legend island..! Tepat 25 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau emas ini.
Maaf,
saya menyebutnya sebagai pulau emas, untuk menggambarkan betapa
besarnya potensi ekonomi yang dimiliki pulau ini. Natuna tiba-tiba
menjadi sesuatu yang sangat grand dalam hidup saya, ketika suatu saat
saya diminta kepala sekolah saya untuk mewawancarai tokoh terkemuka,
budayawan Riau, sekaligus pencetus ide Riau Merdeka, yakni Prof. Dr.
Tabrani Rab. Waktu itu saya baru pindah sekolah di salah satu SMAN
paling terkenal di Pekanbaru.
Hehehe..! Maaf saya harus menyebut
almamater saya ini sebagai sebuah institusi pendidikan menengah favorit
atau paling terkenal di Pekanbaru, supaya bisa mendeskripsikan seacara
real tentang kondisi Riau di masa itu. Riau 25 tahun yang lalu adalah
sebuah wilayah kepulauan yang maha besar di belahan Timur pulau
Sumatera. Riau adalah daerah yang pernah memberikan andil besar dalam
perekonomian nasional.
Di masa
jayanya, ketika PT Caltex Pacific Indonesia mulai menemukan cadangan
minyak terbesar di Indonesia, yakni 2 miliar barel, yang terdapat dalam
perut bumi wilayah Duri, Riau mampu menyumbang sebesar 65% dari seluruh lifting
minyak nasional Indonesia. Angka yang sangat fantastis..! Dari sini
kita akan mengetahui alasan mengapa di Pekanbaru terdapat skuadron
pesawat tempur yang diperhitungkan. Oil and Gas Factor..! Bahkan konflik PRRI Permesta di Sumatera harus berawal dan berakhir di daerah ini.
Adalah
LB Moerdani yang dalam misi melumpuhkan konflik tersebut baru untuk
pertama kalinya melakukan terjun payung, telah menjadi saksi dan
sekaligus mampu memprediksi masa depan gemilang daerah ini. Di wilayah
provinsi Riau pada masa itu sudah menjadi pemandangan keseharian bila
kita menyaksikan sumur-sumur minyak, pipa-pipa minyak sebesar perut
kerbau di sebelah kiri dan kanan bahu jalan, anjungan minyak lepas
pantai, atau kawasan-kawasan eksklusif yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan minyak, baik lokal maupun asing. Dari mulai Dumai,
Duri, Minas, Rumbai, Pekanbaru, Siak, Selat Panjang, Sei Pakning,
Bengkalis, terus memanjang jauh hingga ke Natuna, aura minyak tidak akan
pernah lepas dari pandangan mata kita.
Menelusuri
jalur minyak Riau, itulah yang saya lakukan 25 tahun lalu bersama Prof.
Tabrani, dalam rangka memperkaya materi yang akan saya pakai dalam
Lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat Nasional di Jakarta. Dengan ketekunan
penuh bak seorang ayah, dia menceritakan rentetan kisah dan sejarah
kejayaan kerajaan-kerajaan di Riau, seperti kerajaan Siak Sri Inderapura
maupun kerajaan Seri Bintan di pulau Bintan, Kepri. Meskipun dengan
andil minyak yang mencapai 65% dari total minyak nasional, tapi ekonomi
Riau saat itu tidak terlalu istimewa, hanya sedikit lebih baik dari
Bengkulu dan Jambi. Jalan-jalan perkotaan yang sempit, jalan provinsi
yang lebih banyak memanfaatkan infrastruktur jalan milik perusahaan
minyak, yang selalu berdebu di saat musim kemarau, atau sangat licin di
saat musim hujan. Hampir tidak ada sesuatu yang membanggakan. Bahkan di
Pekanbaru sendiri sebagai ibukota provinsi Riau pada saat itu,
kondisinya tidak lebih baik dari ibu kota kabupaten yang ada di pulau
Jawa.
Ketika kita belum familiar dengan istilah Mall, dan lebih memilih kata Plaza untuk menyebut pusat perdagangan modern, maka waktu itu di Pekanbaru hanya ada terdapat satu plaza, yakni Suzuya Plaza, yang terletak di Jalan Soedirman.
Tempat ini menjelma menjadi pusat hiburan masyarakat urban Pekanbaru,
dan menjadi tujuan utama seluruh masyarakat Riau yang bertandang ke
Pekanbaru. Kota kedua terbesar di Riau adalah Tanjung Pinang, yang
notabene adalah bekas ibukota provinsi Riau, yang letaknya berada di
wilayah Kepri. Dengan sistem transportasi udara yang masih sangat minim,
moda angkutan laut menjadi satu-satunya alternatif untuk bisa
menjangkau seluruh pelosok daerah Riau. Tanjung Pinang dianggap sudah
sampai sepertiga perjalanan kita dari Pekanbaru menuju pulau Natuna.
Sesudah Tanjung Pinang, kita masih harus melewati Tanjung Balai Karimun,
sebelum akhirnya kita akan melakukan perjalanan menegangkan, karena
disepanjang laut yang kita lewati, hantaman ombak senantiasa datang
silih berganti, bahkan jika badai sedang tiba, perjalanan laut dari
Pekanbaru ke Natuna bisa menjadi perjalanan maut yang harus ditempuh
berhari-hari, atau seringkali Natuna menjadi The Forbidden Island, yang dilarang untuk dikunjungi melalui laut karena ganasnya ombak sangat mengancam keselamatan.
Jadi
jangan bayangkan Natuna seperti kota kecamatan lainnya yang ada di
pulau Jawa. Jumlah kendaraan roda empat masih sangat jarang, karena bisa
dimaklumi, jalan raya disana lebih layak disebut sebagai gang daripada
sebatang jalan. Sempit dan alakadarnya. Sepeda dan motor menjadi pilihan
utama, bahkan untuk memiliki motor, kita gak perlu sibuk ngurus STNK
dan BPKB, motor bodong pun masih bisa kita pake, jangan takut dengan
polantas, karena polisi mana yang mau ditugaskan di Natuna, bahkan
markas TNI AL pun kondisinya tidak lebih baik dari gubuk warung tuak,
yang berlantai tanah dan berdinding serta beratapkan seng. Yang
membedakan cuma kibaran bendera Merah Putih yang terpancang gagah di
atas sebatang kayu bakau. Sungguh sangat menyedihkan..!
Tapi
itu dulu, sekarang kondisinya sudah berubah total. Tidak perlu lagi
merasa minder beridentitaskan warga Natuna. Ketika kandungan minyak
dalam perut bumi di Riau daratan sudah jauh berkurang, Natuna kini
menjelma menjadi pulau harapan dan primadona Indonesia di masa depan.
Perhatian dunia tidak pernah terlepas dari titik hitam peta dunia yang
menjadi wilayah terluar teritori NKRI.
Kandungan
minyak dan gasnya yang sangat melimpah, dan konon menjadi salah satu
cadangan migas terbesar dunia, serta posisi netralnya yang sangat
setrategis dalam konteks konflik LCS, menjadikan pulau permai ini tidak
pernah berhenti menebar seduction effect pada negara-negara
yang terlibat langsung dalam kemelut LCS atau pun negara-negara penjarah
sumber daya alam dunia. Adalah sebuah keputusan tepat yang sangat
menyenangkan, sekaligus menenangkan ketika pemerintah memberikan fokus
pada pengembangan pulau ini dari sisi militer.
Jangan
berhenti hanya sampai pembentukan pangkalan utama TNI AL, nyatanya
Natuna bukanlah sebuah pulau kerdil yang tidak memiliki karakter
agraria. Natuna jauh lebih besar dari S’pore dan Batam, yang
bahkan masih bisa dikembangkan menjadi sentra industri gula dan garam
terbesar di Asia. Natuna bukanlah secuil wilayah datar, yang konon tidak
cocok ditempati oleh skuadron heli Apache, dan Natuna bukanlah
semata-mata tentang laut dan pantai. Natuna adalah segalanya, yang
memiliki kelayakan dan nilai yang sangat strategis baik yang dimiliki
oleh daratannya, laut, maupun wilayah udaranya. Bahkan jika pemerintah
lebih serius, pembentukan sebuah Kodam di Natuna akan sama pentingnya
dengan pengerahan pasukan kita di TimTim dulu.
Bisa
dibayangkan jika pulau-pulau seperti Natuna, Tanjung Balai Karimun,
Tanjung Pinang, Selat Panjang, sampai Pekanbaru dilengkapi piranti
arhanud medium range, maka gugusan wilayah ini akan menjelma menjadi
sosok seekor naga dengan bola dan lidah apinya yang menjulur, menyambut
sahabat yang berniat baik, dan akan siap membakar dan menghanguskan
siapun yang datang untuk menebar ancaman. Selamat datang TNI, selamat
berbenah Natuna. Doa kami akan senantiasa ada untukmu. Jayalah NKRI..!http://jakartagreater.com
saya suka sama postingan anda pak yahya..
ReplyDeletesuka
ReplyDelete