Jakarta (ANTARA
News) - Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, menegaskan, tidak pernah
menyampaikan permintaan maaf kepada Singapura atas penamaan (calon)
kapal fregat baru TNI AL, KRI Usman-Harun-359.
"Tidak ada itu mohon maaf. Maksudnya mohon maaf, penamaan (KRI) Usman-Harun adalah keputusan kami yang final," kata Moeldoko, kepada wartawan, di Kantor Presiden Jakarta, Kamis, sebelum mengikuti sidang kabinet.
"Tidak ada itu mohon maaf. Maksudnya mohon maaf, penamaan (KRI) Usman-Harun adalah keputusan kami yang final," kata Moeldoko, kepada wartawan, di Kantor Presiden Jakarta, Kamis, sebelum mengikuti sidang kabinet.
Sebelumnya, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, Moeldoko perlu memberikan klasifikasi soal permohonan "maaf" kepada Singapura terkait penataan kapal perang itu.
Juwana di Jakarta, Kamis, mengatakan, Moeldoko ketika diwawancara
televisi Singapura Channel News Asia, baru-baru ini menyampaikan "maaf"
atas penamaan Usman Harun untuk kapal perang yang dibeli
Indonesia. Pernyataan ini, kata dia, "Seolah Indonesia tunduk pada
kemarahan Singapura."
Ia mengatakan bila dicermati pernyataan mohon maaf dari Moeldoko di dalam wawancara itu dapat ditafsirkan menjadi dua.
Pertama, tafsiran seolah atas nama pemerintah Indonesia, dia
meminta maaf kepada pemerintah Singapura. "Maaf di sini diterjemahkan
dalam bahasa Inggris sebagai regret yang memiliki implikasi diplomatik," katanya.
Interpretasi kedua, sebagaimana layaknya orang Indonesia bila
hendak berbicara keras, akan didahului dengan kata "maaf" yang dalam
bahasa Inggris diterjemahkan sebagai pardon me atau excuse me.
Saat ini kata "mohon maaf" dari Moeldoko oleh Channel NewsAsia diterjemahkan sebagai regret alias penyesalan. "Inilah yang kemudian dikapitalisasi oleh para pejabat Singapura," katanya.
Tabur bunga
Peristiwa
pada 8 Maret 1965 dari aksi sukarelawan Usman dan Harun saat Indonesia
menyatakan berkonfrontasi dengan Federasi Malaya (gabungan Singapura,
Kalimantan Utara (Sabah dan Sarawak) itu menjadi pangkal penyebab
kemarahan Singapura hingga kini.
Hotel
McDonald di Jalan Orchard (jalan utama Singapura hingga kini), saat itu,
diledakkan Usman dan Harun, yang bergerak dalam misi rahasia dari
Jakarta.
Usman bernama lengkap Usman Janatin
bin Ali Hasan, terlahir pada 18 Maret 1943, di Desa Jatisaba,
Purbalingga, Jawa Tengah. Meninggal dihukum mati di tiang gantungan
pengadilan Singapura, 17 Oktober 1968.
Harun merupakan
nama samaran pemuda bernama lengkap Tohir bin Said, lahir pada 4 April
1943, di Pulau Bawean, Jawa Timur, dan meninggal berdampingan dengan
Harun.
Pada 18 Oktober 1968, jenasah keduanya dibawa ke Tanah Air memakai C-130 Hercules
AURI, disemayamkan di aula Kementerian Pertahanan dan Keamanan,
Jakarta, dan dimakamkan dalam upacara kehormatan militer di TMP
Kalibata, diantar tembakan salvo kehormatan laiknya pemakaman para
pahlawan bangsa.
Akan tetapi dari itu semua,
hingga hari ini Singapura secara resmi belum pernah mengungkap nama-nama
para korban ledakan Hotel Orchard itu, kecuali jumlahnya 36 orang (33
tewas dan tiga luka-luka).
Atas peristiwa pada
masa pemerintahan Bung Karno itu, hubungan Indonesia dengan (negara
baru) Singapura sempat memburuk. Pergantian rezim pemerintahan di
Indonesia dari Bung Karno kepada Soeharto mengubah secara total
orientasi hubungan Indonesia dengan kawasan sekitar, termasuk
Singapura.
Buah dari diplomasi luar negeri
Indonesia di mana beberapa tokoh nasional berperan besar, di antaranya
Des Alwi dan seorang militer karir, Benny Moerdani, mulai menunjukkan
hasil. Perdana Menteri Singapura (saat itu), Lee Kuan Yew, datang ke
Jakarta untuk memperbaiki hubungan secara politik dan ekonomi.
Salah
satu agenda kunjungan Lee di Jakarta pada 1970 itu adalah tabur bunga
resmi di TMP Kalibata, kepada dua pusara Usman dan Harun, dengan
disaksikan Presiden (saat itu) Soeharto dan para perwakilan resmi
Singapura di Jakarta.
Tabur bunga resmi itu
sebagai tanda Lee dan Singapura yang belum kuat secara ekonomi sepakat
memperbaiki juga hubungan dengan Indonesia (Soeharto The Untold Story). Kenyataan berbeda terjadi saat Singapura sudah kuat secara ekonomi.
http://www.antaranews.com
No comments:
Post a Comment