Surat kabar tersebut, dengan mengutip beberapa sumber senior militer,
mengatakan doktrin enam-lapis itu, yang dirancang oleh Kementerian
Pertahanan, Komando Front Dalama Negeri dan staf jenderal Angkatan
Darat,
bertujuan untuk menyediakan reaksi lebih baik terhadap ancaman
roket dan rudal pada masa perang.
''Dua lapis pertama adalah penangkal dan diplomasi. Alat yang dapat
digunakan untuk membina persekutuan dan memecah-belah musuh tanpa
menggunakan kekuatan militer,'' kata The Jerusalem Post yang mengutip
satu sumber.
Apabila kedua lapis itu gagal, maka pengaktifan banyak sistem
pertahanan udara Israel yang merupakan lapisan ketiga dan keempat
doktrin tersebut akan dikerahkan.
Lapisan kelima adalah pertahanan pasif seperti sirene serangan udara
dan tempat perlindungan bom. ''Lapisan keenam serta terakhir berpusat
pada pengerahan warga sipil pada saat perang,'' kata laporan tersebut
sebagaimana dilaporkan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta pada Selasa malam.
Doktrin itu muncul saat para pejabat Israel makin khawatir mengenai
simpanan roket dan rudal tetangganya yang berkembang serta dapat
digunakan terhadap pusat kota yang berpenduduk padat dalam konflik masa
depan.
Seorang pejabat senior Israel memberitahu Xinhua dalam satu
wawancara pada November bahwa milisi Syiah Lebanon, Hizbullah, saat ini
memiliki sebanyak 100.000 proyektil. Sebagian amunisi itu mampu
menyerang Pelabuhan Eilat di Laut Merah di ujung paling selatan Israel
dengan hulu ledak seberat satu ton.
Menurut laporan pada Senin, Hizbullah telah meningkatkan simpanan
roket jarak jauhnya dari 500 jadi 5.000 sejak Perang Lebanon Kedua pada
2006. Sehingga, Komando Front Dalam Negeri meningkatkan persiapan
darurat untuk memperkecil dampak pada penduduk selama perang.
"Orang tak bisa mengatakan ada satu front dan satu front dalam
negeri. Musuh memandang front dalam negeri sebagai front dalam setiap
cara," kata sumber militer Israel tersebut.
No comments:
Post a Comment